Selasa, 26 Oktober 2010

PUNYA TORANG


Sebelum kita masuk kedalam pembahasan tentang bercerai kemudian menikah kembali,ada baiknya kita mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan perkawinan dan apa yang dimaksud dengan perceraian beserta dampak dan juga alasannya
A.PERKAWINAN
DEFINISI PERKAWINAN Perkawinan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Kegiatan yang dibayangkan, bahkan dipercayai, sebagai perwujudan ideal hubungan cinta antara dua individu belaka telah menjadi urusan banyak orang atau institusi, mulai dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai negara. Namun, pandangan pribadi ini pada saatnya akan terpangkas oleh batas-batas yang ditetapkan keluarga, masyarakat, maupun ajaran agama dan hukum negara sehingga niat tulus menjalin ikatan hati, membangun kedirian masing-masing dalam ruang bersama, tak pelak lagi tersendat, atau seringkali terkalahkan. Kamus pun sebagai buku acuan publik yang paling sederhana tak lepas dari kepungan wacana dominan, sambil berusaha memberi tempat pada beragam praktek perkawinan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, misalnya, mencantumkan 3 padanan kata untuk "kawin", yaitu "menikah, bersetubuh (dalam ragam cakapan), berkelamin (untuk hewan)", yang diikuti dengan deretan istilah kawin, mulai dari "kawin acak" sampai "kawin suntik". Dalam kamus bahasa Inggris "marriage" [perkawinan] ditegaskan sebagai: "the union of a man and woman by a ceremony in law" [persatuan seorang laki-laki dan perempuan melalui sebuah upacara menurut hukum] dan "the state of being so united" [keadaan sedemikian bersatunya]. Tugas ini kemudian dilembagakan melalui peresmian hubungan laki-laki dan perempuan oleh institusi agama dan negara untuk mendirikan keluarga. Lebih jauh lagi, demi keteraturan sistem pewarisan dan keamanan kekayaan keluarga menurut garis ayah dari generasi ke generasi, makna keluarga pun semakin dipersempit menjadi pembentukan keluarga batih dengan laki-laki sebagai pemimpinnya. Gagasan dominan tentang perkawinan dan keluarga ini kemudian melahirkan kaidah-kaidah keramat yang mencegah orang punya bayangan lain tentang bentuk perhubungan akrab antar manusia. Di satu sisi, perkawinan dianggap sebagai satu tahapan memanusia yang melambangkan kedewasaan dan kewarasan. Di lain sisi, tugas-tugas yang dibebankan ke lembaga ini seringkali demikian menjerat sehingga mengancam kewarasan dan kedewasaan individu-individu yang terlibat di dalamnya. Lebih jauh lagi, tumbuh di tengah masyarakat yang mengunggulkan laki-laki sebagai pemimpin kehidupan, kaidah-kaidah perkawinan secara khusus dipakai untuk mengendalikan gerak perempuan. Dua pokok perkara yang akan disoroti dalam tulisan ini: pertama, dengan penunjukan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga terjadilah pembagian ruang bergerak yang membuat perempuan terperangkap di rumah untuk waktu tak terbatas; kedua, segregasi ruang secara seksual ini berpengaruh terhadap pola komunikasi antara suami-istri dan cara pandang terhadap hubungan antar manusia pada umumnya. Bertahan sambil Memperluas Ruang Gerak Begitu perempuan masuk dalam lembaga perkawinan deretan pekerjaan yang berjudul "melahirkan, mengurus anak, suami dan rumah tangga" sudah menanti. Jenis pekerjaan yang terkandung dalam kata "mengurus" bisa bervariasi, tergantung dari jumlah pembantu yang disewa oleh sebuah rumah tangga. Walaupun sebagian kerja fisik, seperti berbelanja, membersihkan rumah, atau memasak kebanyakan didelegasikan ke pembantu, tujuan akhir seluruh pekerjaan ini, yaitu menciptakan suasana rumah tangga yang tenang, tentram dan penuh cinta kasih demi kesehatan fisik dan mental suami, menuntut kesigapan dan kesiagaan istri sepanjang waktu. Semua berlangsung teratur dengan asumsi beginilah seharusnya kehidupan berkeluarga yang normal dan alamiah. Dengan tanggung jawab sebagai perawat kesejahteraan keluarga, pengalaman dan pengetahuan kebanyakan istri terbatas pada masalah kerumahtanggaan dan keluarga. Maka, muncullah stereotip bahwa perempuan gemar bergunjing, hanya peduli soal-soal "kecil", dan yang paling telak, tidak rasional. Sang suami yang sudah lelah seharian mengurus soal-soal "besar" tak tertarik pada cerita tentang tukang sayur yang menipu, suami tetangga main gila, atau anak ketahuan menyontek. Ia pilih bergunjing dengan kawanannya atau bercengkerama dengan perempuan yang lebih "berpengalamanPerkawinan, di luar makna persetubuhan itu sendiri, tidak seperti lazim dipahami orang, bukanlah sesuatu yang biologis atau alamiah, dan terbuka untuk dimaknai siapa pun. Masalahnya memang reproduksi gagasan dominan tentang perkawinan dan kaitannya dengan pembentukan keluarga begitu intensif dan menyeluruh. Ini membuat banyak pihak yang memilih untuk larut dalam alur yang sudah jelas aturan mainnya atau menolak sama sekali institusi yang ada dengan menciptakan ruang-ruang pribadi yang terjaga kenyamanannya secara sosial dan ekonomi. Persoalan berikutnya, tidak semua orang, terutama perempuan, berada dalam posisi sosial dan ekonomi yang memungkinkannya untuk membuat pilihan kedua. Dalam posisi seperti ini seringkali pilihan satu-satunya adalah terus memperjuangkan perluasan makna dan ruang gerak bersama dengan kaumnya sambil mempersiapkan tatanan alternatif yang bisa menjamin kediriannya sebagai manusia.
B.PERCERAIAN
            Angka perceraian semakin meningkat dari waktu ke waktu. Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Definisi perceraian di Pengadilan Agama itu, dilihat dari putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan di UUP kan dijelaskan, yaitu:
1. karena kematian
2. karena perceraian
3. karena putusnya pengadilan
Dengan demikian, perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perceraian. UUP perkawinan menyebutkan adanya 16 hal penyebab perceraian. Penyebab perceraian tersebut lebih dipertegas dalam rujukan Pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana yang pertama adalah melanggar hak dan kewajiban.
           





C. PERCERAIAN DAN PERNIKAHAN KEMBALI
Dalam hal ini muncul sebuah pertanyaan apakah SEBUAH PERCERAIAN DAPAT MENIKAH KEMBALI?. Kalau kita melihat dari kaca mata agama Islam,Menikah kembali dengan orang yg sama setelah  bercerai" atau pernah menceraikannya adalah hal yg dibolehkan. Sah-sah saja. Namun Pernikahan kembali itu bisa dilakukan setelah menjalani beberapa proses.
               Menurut hukum Islam, apabila si Wanita mendapat "Talak 3" (istilah hukum Islam-red) dari suami pertamanya, kemudian si wanita menikah dgn pria lain dan tak lama kemudian bercerai lagi. Maka, barulah si Mantan suamipertama si Wanita tadi boleh menikah kembali dengan mantan istrinya tersebut.Kesimpulannya Boleh menurut hukum Islam. Sedangkan menurut agama Kristen menikah kembali dengan orang yang sama itu tidak boleh, inilah yang menjadi konttroversi pernikahan yang mana dalam satu agam memperbolehkan yang namanya perceraian tetapi dalam agama yang lain ada yang mengatakan tidk boleh.ini yamg selama ini menimbulkan polemic antara setiap masyarakat.apakah penikahan terhadap orang yang sama atau pernikahan setelah perceraian apakah dapat dilaksanakan
            Dalam pasal 2 ayat 1 KUHperdata dijelaskan kalau setiap pernikahan dapat dilakukan oleh masing masing agamanya.berarti dalam hal ini ada sebahagian agama memperbolehkan pernikahan kembali tetapi ada juga yang tidak memperbolehkan,tapi karena hokum perdata Indonesia kebanyakan diambil dari Hukum Islam makannya kemungkinan besar dalam melaksanakan pernikahan kembali dapat dilaksanakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar